ANTARA IMAN, TAQWA, DAN HIJRAH (Analisis dari Ibadah Ramadhan)

Oleh. Dr. Otib Satibi Hidayat, M. Pd.

Ada sapaan-sapaan khusus pada saat Allah SWT memanggil umat manusia untuk menyampaikan perintah ibadah shoum di bulan suci Ramadhan. Betapapun ibadah shoum Ramadhan adalah kewajiban semua umat Islam tanpa pandang bulu, namun Allah SWT lebih memilih diksi dengan sapaan: ‘Wahai sekalian orang-orang yang beriman’. Diksi khusus kepada orang yang beriman sebagai kelompok tertuju untuk melaksanakan ibadah shoum Ramadhan tersebut tentu memiliki makna bahwa proses seleksi akan terjadi secara alamiah pada saat proses ibadah sholum Ramadhan tersebut berlangsung. Tidak jarang umat Islam dalam jumlah banyak tidak mampu memenuhi perintah tersebut, atau bisa juga berapa banyak orang Islam yang mampu menunaikan ibadah shoum Ramadhan namun hanya sebatas menahan rasa lapar dan haus belaka, kehilangan makna dari ibadah shoum Ramadhan tersebut. Pilihan kata orang-orang beriman adalah diksi yang sangat tepat untuk memberikan predikat kepada orang yang mampu melaksanakan ibadah shoum Ramadhan dengan ايمانا واحتسابا (sebenarnya beriman dengan dilandasi pengetahuan dan pengamalan hakikat ibadah shoum Ramadhan).

Sapaan Allah dengan diksi khusus kepada orang-orang yang beriman dalam kaitan ibadah shoum Ramadhan dengan tujuan agar kita menjadi golongan orang-orang bertaqwa. Sebuah proses perjalanan panjang, memberatkan fisik, mengekang hawa nafsu/psikis, dan perlu ditempuh dengan kesabaran dan kesadaran tinggi selama kita bershoum Ramadhan. Anas bin Malik radhiyallahu’anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

حُفَّتِ الْجَنَّةَ بِالْمَكَارِهِ وَ حُفَّتِ النَّارَ بِالشَّهَوَاتِ

“Surga itu diliputi perkara-perkara yang dibenci (oleh jiwa) dan neraka itu diliputi perkara-

perkara yang disukai syahwat.”(HR. Muslim).

Lebih lanjut penjelasan dari hadits tersebut, Ibnu Hajar rahimahullah dalam Kitab Fathul Baari berkata: “yang dimaksud dengan al-makarih (perkara-perkara yang dibenci jiwa) adalah perkara-perkara yang dibebankan kepada seorang hamba baik berupa perintah ataupun larangan, ia dituntut bersungguh-sungguh mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan tersebut. Bersungguh sungguh mengerjakan ibadah serta berusaha menjaganya dan menjauhi

perbuatan dan perkataan yang dilarang Allah Ta’ala. Penggunaan kata al-makarih disini disebabkan karena kesulitan dan kesukaran yang ditemui seorang hamba dalam menjalankan perintah dan meninggalkan larangan. Adapun yang dimaksud  syahwat adalah perkara- perkara yang dilakukan untuk menikmati lezatnya dunia, sementara syariat melarangnya. Baik karena perbuatan tersebut haram dikerjakan, maupun perbuatan yang membuat pelakunya meninggalkan hal yang dianjurkan. Dengan perkataan lain dapat kita simpulkan bahwa secara prinsip Nabi shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan; seseorang tidaklah sampai ke surga kecuali setelah melakukan amalan yang dirasa begitu sulit dan berat. Sebaliknya seseorang tidak akan sampai ke neraka  kecuali setelah menuruti keinginan nafsunya. Surga dan nereka dihijabi oleh dua perkara tersebut, barang siapa membukanya maka  ia  sampai   kedalamnya.   Meskipun   dalam   hadits   tersebut   menggunakan kalimat khabar (berita) akan tetapi maksudnya adalah larangan.”(Fathul Baari 18/317, Asy- Syamilah). Itulah label ‘Taqwa’ sebagai buah kebaikan imbahan dari Allah kepada hamba- Nya yang telah lulus dari ibadah shoum Ramadhan.

Perolehan derajat taqwa merupakan harapan terbesar dari Nabi Muhammad SAW kepada semua umatnya, hingga kehidupan kita saat ini. Setiap Beliau Yang Mulia menyampaikan khutbah apapun, senantiasa diawali dengan mengajak manusia selalu bertaqwa dan terus bertaqwa. Rasulullah SAW membiasakan diri selalu mengutip QS. Ali Imran (3) ayat 102 dalam setiap kesempatan memberikan wasiat, pengajaran, bimbingan, dan mengajarkan tentang Islam kepada umatnya.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّّ إِلَّا وَ أَنتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Allah SWT melalui ayat di atas mengingatkan kita agar senantiasa bertaqwa dengan ketaqwaan yang benar. Termasuk jika kita selesai melaksanakan ibadah shoum Ramadhan, agar konsisten dalam membuktikan nilai-nilai ketaqwaan tersebut dalam kehidupan 11 bulan berikutnya. Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa Allah SWT menuntut kita membuktikan taqwa yang sebenarnya? Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui hadist Yunus ibnu Abdul A’la, dari Ibnu Wahb, dari Sufyan As-Sauri, dari Zubaid, dari Murrah, dari Abdullah Ibnu Mas’ud yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ membaca firman-Nya: bertakwalah kalian kepada Allah sebenar-benar  takwa  kepada-Nya  (QS.  Ali  ‘Imran  [3]:  102),  —lalu  beliau  bersabda menafsirkannya— فاليعصى يطاع ان (hendaknya Allah ditaati, tidak boleh durhaka kepada-Nya), فاليكفر ويشكر (bersyukur kepada-Nya dan jangan ingkar kepada (nikmat)-Nya), dan ويذكرفال ينسى (selalu ingat kepada-Nya dan tidak melupakan-Nya).

Jika kita betul-betul ingin memberi bukti kebenaran taqwa kita kepada Allah SWT tentu sebaiknya kita harus berusaha memelihara ketaatan dalam setiap keadaan dimanapun kita berada, dalam wujud tidak membuat maksiat sekecil apapun yang membuat Allah murka. Kita juga harus selalu bersyukur atas segala nikmat dan karunia yang telah Allah berikan dalam kehidupan ini, tanpa dicacati oleh perilaku kufur/menutup diri dan buta pada ajaran Allah, serta selalu ingat kepada Allah dalam setiap keadaan yang diwujudkan dengan memedomani Al- Qur’an sebagai pedoman hidup yang tidak boleh dilupakan segala isinya.

Ujung dari QS. Ali Imran (3) ayat 102 tersebut, ternyata Allah sangat menginginkan kita untuk terus berusahan selama hidup menjadi orang yang istiqomah membuktikan nilai- nilai ketaqwaan yang sebenarnya sampai kita dijemput oleh kematian. (ولا تموتنّ إلا و أنتم مسلمون). Allah sangat berharap kepada kita untuk terus berusaha mengisi hidup hingga kematian menjemput, agar menjadi muslim (tunduk patuh dengan segala aturah Allah dan Rasul-Nya). Seperti apakah hakikat taqwa yang sebenarnya? Seorang sahabat Nabi Muhammad

SAW yaitu Ali Bin Abi Thalib menjelaskan:

قال علي بن أبي طالب رضي الله عنه : التقوى هي الخوف من الجليل، و العمل بالتنزيل، و الرضا بالقليل و الاستعداد ليوم الرحيل (سبل الهدى و الرشاد للصالحي الشامي) ج: 1 ص: 421

Pengertian Taqwa menurut Iman Ali bin Abi Tholib : Takut kepada Allah SWT, Melakukan apa yang diturunkan dari Allah (Al-Quran), Ridho dengan rizki diterima betapapun sedikit, Mempersiapkan diri untuk hari akhir.

Dengan demikian implementasi nilai-nilai ketaqwaan kita pasca Ramadhan  seyogiyanya mencerminkan keempat hal tersebut sehingga secara tidak langsung kita telah mampu mengantarkan diri kita pada kondisi hijrah kepribadian/sulukiyah, sesuai harapan Allah SWT yaitu orang-orang yang sebenar-benarnya bertaqwa buah dari keberhasilan ibadah shoum Ramadhan.

Wallah ‘alam bisyowab.

Leave A Reply